Rabu, 17 Juli 2019

JURNAL MORFODINAMIKA JANGKA PENDEK PENDANGKALAN DI ALUR PELAYARAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

MORFODINAMIKA JANGKA PENDEK PENDANGKALAN DI ALUR PELAYARAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

SHORT TERM SILTING MORPHODYNAMIC IN BARITO NAVIGATION CHANNEL, SOUTH KALIMANTAN


Franto Novico1*, Arif Ali1, Eko Saputro1, Adi Sinaga1, Andi Egon2

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Jl. Dr. Junjunan 236, Bandung-40174, Indonesia

2 Program Studi Oseanografi – Institut Teknologi  

        Bandung *Email : franto12@gmail.com

Diterima :              17-11-2017, Disetujui : 06-02-2018



ABSTRAK

Potensi sumber daya mineral di pulau Kalimantan pada umumnya berada di hulu-hulu sungai yang relatif jauh dari pantai. Potensi ini pada umumnya telah dieksplorasi bahkan dieksploitasi, namun kendala yang umum dihadapi adalah pengangkutan hasil tambang tersebut. Keterbatasan sarana dan prasaran transportasi darat akibat kondisi alam yang berawa sehingga menyebabkan pilihan jatuh kepada transportasi sungai yang lebih murah efektif dan efisien. Kendala yang umum terjadi pada system transportasi melalui sungai adalah pendangkalan di alur masuk dan muara sungai, oleh karena itu diperlukan pengerukan untuk pendalaman alur pelayaran. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan morfologi akibat sedimen yang menyebabkan pendangkalan dan penyempitan pada muara Sungai Barito. Pendekatan yang digunakan untuk analisis perubahan morfodinamika dilakukan dengan bantuan simulasi model numerik dengan menggunakan software Delft3D.

Berdasarkan simulasi model morfodinamika Delft 3D, maka dapat diketahui sedimentasi tertinggi terjadi pada areal lokasi sekitar muara Sungai Barito, dimana terjadi pendangkalan sampai sebesar 1,2 meter per-tahun. Sedangkan pada bagian selatan alur pelayaran terjadi penyempitan sebesar 300-400 meter per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi morfologi sangat dipengaruhi oleh debit Sungai Barito.

Kata kunci: Morfodinamika, Dasar Laut, Alur Pelayaran, Sungai Barito, Kalimantan Selatan, Delft3D, Pemodelan erosi dan sedimentasi


ABSTRACT

The potency of mineral reserves in Kalimantan Island has mostly located at the upstream area that is quiet far from the coastline. Generally, the mineral potency have been explored and sometime exploited, however the most common problem in this system is how to transport of those reserves. The limitation of onland facilities and infrastructures due to swampy area caused the river transportation is the cheapest, affective and efficient choosen alternative.

However, the most common constraints on river transportation systems are silting in the inlet and estuarine. Therefore the dredging is obviously important for deepening of the access channel. The aim of this study is to reveal morphological changes due to sediment transport that is causing silting and narrowing the area around the Barito estuarine. The numerical model using Delft3D is conducted to analyse the morphodynamic changing.

Based on the Delft3D model simulation results, the highest sediment deposition occurs at a location near the Barito river estuary, where the sedimentation rate is up to 1.2 meter per year. In the southern part of the navigation canal, the canal width is reduced up to 300-400 meter per year. These indicate that the morphological process at this location highly influenced by the river discharge.

Keywords: Morphodynamic, Seabed, Access Channel, Barito River,Delft3d, Erosion and Sedimentation Model

PENDAHULUAN

Pulau Kalimantan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, salah satunya bahan tambang batubara, yang apabila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Kondisi bentang alam menunjukkan bahwa lokasi sumber daya mineral tersebut berada di bagian hulu dari daerah aliran sungai (DAS), kondisi tersebut menjadi tantangan untuk mendistribusikan sumber daya untuk diproses.

Beberapa parameter yang perlu dipertimbangkan dalam mendukung distribusi sumber daya hasil tambang tersebut mencakup transportasi yang murah, aman dan ramah lingkungan. Menimbang kondisi topografi Pulau Kalimantan yang didominasi oleh dataran rendah jenis rawa, dan terdapat banyak sungai besar beserta cabangnya, penggunaan moda transportasi konvensional melalui daratan akan mengalami banyak kendala baik dari

sudut pandang teknis, ekonomi, dan sosial-budaya. Oleh karena itu, pemilihan moda transportasi air melalui sungai dapat menjadi alternatif yang logis untuk dimanfaatkan, (ESDM 2015).

Pada umumnya, sistem transportasi dan pendistribusian hasil tambang seperti batu bara dimulai dari lokasi penyimpanan bahan tambang di lokasi sementara yang dinamakan stockpile selanjutnya dibawa menuju mother vessel melalui moda transportasi sungai(ESDM 2015). Sistem transportasi tersebut tidak selamanya tanpa hambatan, seperti beberapa masalah yang dapat diketahui dari (ESDM 2015), yaitu (i) perairan dangkal dan sedimentasi, dimana kedalaman muara sungai dibawah 5 meter menjadi kendala bagi kapal tongkang berukuran sedang-besar pada kondisi air surut, (ii) Musim kemarau yang menyebabkan kedalaman sungai yang menjadi lebih dangkal, (iii) Jembatan yang tidak dirancang untuk dilalui kapal pada bagian bawahnya, (iv) Kepadatan lalu lintas perairan sungai untuk kepentingan lainnya.

Secara regional, pada wilayah kalimantan bagian selatan, Sungai Barito merupakan salah satu sungai besar yang telah dijadikan jalur transportasi untuk
sistim distribusi hasil tambang dan telah Gambar 1.


memiliki model pengaturan alur dan pelabuhan yang cukup baik dibandingkan dengan sungai-sungai lainnya.

Gambar 1 di atas memperlihatkan kondisi alur lama dan baru pada muara sungai Barito. Alur pelayaran baru yang memiliki kelebihan yaitu jarak tempuh yang lebih pendek dan saat ini dipergunakan untuk sistem transportasi distribusi bahan tambang batubara. Namun, alur pelayaran baru ini memiliki permasalahan sedimentasi dan pendangkalan secara continue sehingga membatasi pergerakan kapal tongkang dengan ukuran draft di atas 5 meter (KNKT 2014). Kelancaran lalu lintas kapal perlu dijaga agar tidak terganggu dengan melakukan pengerukan secara berkala. Tujuan dari studi ini adalah untuk mempelajari kondisi sedimentasi alur pelayaran baru muara sungai barito, dan memberikan alternatif solusi pengerukan pada alur pelayaran baru.



Gambar 1. Alur Masuk dan Kondisi Kedalaman di Sungai Barito, (KNKT 2014)

Kondisi Lokasi Studi 
     Sungai Barito melintasi dua provinsi yaitu provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sungai ini memiliki hulu di Pegunungan Muller dan bermuara di Laut Jawa. Sungai terpanjang ketiga di Indonesia ini mencapai total panjang sekitar 900 km dan lebar sungai berkisar antara 650 hingga 1000 meter (ESDM 2015). Kondisi pasang surut di muara sungai Barito adalah campuran condong ke harian tunggal, dimana pasang surut diurnal mendominasi saat spring tide dan semi-diurnal saat neap tide dengan rentang antara 0,5 sampai 2,5 m dari chart datum (Bassoullet et al. 1986). Kondisi arus saat surut pada muara sungai pada umumnya akan lebih tinggi daripada saat pasang (Bassoullet et al. 1986). Debit air yang mengalir dari sungai ke muara pada musim kemarau adalah sebesar 350-400 m3/detik yang terakumulasi pada DAS sebesar 45000 km2 (Bassoullet et al. 1986). Kondisi musim penghujan memperlihatkan debit air cenderung lebih tinggi akibat intensitas curah hujan yang lebih tinggi seperti terjadi pada tempat lain pada umumnya (Moodley et al. 2016; Niaziet al ., 2014; Bunn et al., 2006). Lokasi studi terletak pada muara sungai Barito, dimana pada umumnya proses fisik dipengaruhi oleh faktor dari laut dan sungai, akibat pertemuan dari arus laut dan sungai, konsentrasi sedimen tersuspensi pada lokasi ini meningkat (Dalrymple and Choi 2007). Kondisi sedimen bagian luar/depan muara sungai pada umumnya.



didominasi oleh jenis ukuran halus dan Lumpur, akibat sedimen jenis kasar (coarse sand) sudah terlebih dahulu terdeposit sepanjang sungai meuju muara sungai. (Sumawinata 1998, Bassoullet et al. 1986). Permasalahan pada Muara Sungai dan Alur Pelayaran Permasalahan pada daerah muara sungai berkaitan dengan sedimentasi sering kali diakibatkan pada konstruksi struktur maupun bangunan yang tidak memperhatikan faktor lingkungan yang salah satunya adalah pola pergerakan dan besarnya sedimen. Oleh karena itu pada design engineering diharusnya memperhatikan potensi dampak nya seperti sedimentasi, sand starvation, dan downdrift erosion agar menjadi minimum (van Rijn 2005). Ringkasan permasalahan sedimentasi pada muara sungai dan delta yang terjadi pada umumnya dapat dilihat pada gambar 3. Fokus tulisan pada studi ini membahas permasalahan sedimentasi yang terjadi pada alur pelayaran buatan yaitu alur pelayaran baru muara Sungai Barito. Berdasarkan (van Rijn 2005), sedimentasi yang terjadi pada alur pelayaran disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (i) dimensi (panjang dan lebar) kanal, (ii) orientasi kanal terhadap arus pasang-surut dominan, (iii) arus kencang dan gelombang besar yang melintasi kanal (iv) jenis sedimen pada lokasi kanal yang didominasi oleh jenis ukuran halus (fine sand) dan lumpur (mud) dan (v) posisi kanal yang melintasi




Gambar 3. Permasalahan sedimentasi pada muara sungai (van Rijn 2005)

daerah shoaling. Gambar 4 memberikan ilustrasi permasalahan sedimentasi pada alur pelayaran, dimana saat arus melintasi kanal, kecepatan akan berkurang akibat kedalaman bertambah kemudian menyebabkan volume pergerakan sedimen pada dasar (bed load) dan tersuspensi (suspended load) akan berkurang dan terdeposit pada dasar kanal. Oleh karena itu, penting sekali dalam desain Alur Pelayaran untuk mengikuti pola evolusi morfologi jangka panjang (long-term morphology) untuk memimalisir aktivitas dan volume pengerukan (dredging) di kemudian harinya (Wang et al. 2014). Berdasarkan data sekunder dan survey lapangan, posisi alur pelayaran baru menuju Sungai Barito merupakan area yang hampir tegak lurus ke arah selatan terhadap mulut sungai. Jarak tempuh dari lepas pantai menuju sungai dengan melalui alur pelayaran baru menjadi lebih pendek dibandingkan dengan alur lama, namun, pada ruas dari ambang terluar/lepas pantai (offshore) hingga stasiun SB-02 (gambar 9) alur pelayaran baru memiliki lebar kanal yang lebih sempit dibandingkan dengan lebar pada ruas sekitar mulut sungai. Lebar rata-rata pada ruas antara ambang lepas pantai/offshore hingga stasiun SB-03 adalah sekitar 220 meter, sementara untuk sekitar mulut sungai (antara stasiun SB-02 dan SB-01) adalah sekitar 700 meter (lihat gambar 5). Kontur batimetri dengan area berwarna biru muda memperlihatkan area dengan kedalaman kurang dari 5 meter, sementara untuk kontur batimetri dengan area berwarna putih merupakan area dengan kedalaman lebih dari 5 m. Pada gambar tersebut menunjukkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan pada sebagian ruas Alur Pelayaran.

Gambar 4. Permasalahan Alur Pelayaran (van Rijn 2005)



Gambar 5. Data Batimetri Alur Masuk Sungai Barito, (Pushidros TNI-AL dalam KNKT, 2014)

METODOLOGI 
     Kajian sedimentasi dan erosi pada muara dan sungai besar, estuary dan delta dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengukuran langsung maupun permodelan numerik. Studi sebelumnya yang berdasarkan pengukuran langsung dengan metode analisis 210Pb (Fengye 1993) dan analisis 137Cs (Xie drr. 2013). Sementara studi-studi sebelumnya yang menggunakan pendekatan permodelan numerik dengan meggunakan software Delft3D (van Maren, et al 2015; George, et al2012; Van Leeuwen 2003), MIKE 21 (Kimiaghalam et al 2016). Sementara (Miller et al. 2014) mengintegrasikan antara penggunaan data lapangan, remote sensing, dan pemodelan numerik. Pendekatan pemodelan numerik dilakukan untuk menghitung besarnya sedimentasi dan erosi pada alur pelayaran baru di lokasi ini atas pertimbangan efisiensi dan efiktivitas. Aplikasi yang digunakan dalam pemodelan numerik adalah software open source Delft3D. Pada simulasi ini dilakukan beberapa skenario model, seperti kondisi eksisting, dan skenario dengan melakukan pengerukan dan pembuangan, untuk melihat seberapa besar dampak pengerukan-buangan terhadap kondisi alur setelah 1 tahun. Kondisi morfologi dan pergerakan sedimen (sediment transport) untuk daerah muara sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu gelombang, angin, pasang surut, dan debit dari sungai yang bermuara (Talke and Stacey 2008), namun pada model yang diterapkan hanya mempertimbangkan kondisi pasang surut dan debit saja. Selain itu, kondisi sedimen dasar permukaan maupun konsentrasi sedimen tersuspensi (suspended sediment) pada debit air sungai yang bermuara juga sangat penting. Komposisi, distribusi dan segregasi dari unsur pasir (sand) dan lumpur (mud) sangat penting untuk diketahui untuk pemeliharaan (maintenance) alur pelayaran pada muara sungai (van Ledden 2003) seperti yang terjadi pada kasus alur pelayaran baru di muara Sungai Barito ini, karena ini akan menentukan trend dari proses evolusi morfologi kedepannya. 

Gambar 6. Sistem modul pada Delft3D

    Proses perubahan morfologi akibat proses sedimentasi dan erosi memiliki rentang waktu yang relatif panjang (Ralston and Geyer 2009). Untuk mencapai kondisi kestabilan atau equilibrium dibutuhkan waktu dalam rentang tahunan, bahkan dekade. Oleh karena itu, permodelan numerik untuk aplikasi morfologi juga harus disimulasikan dalam rentang waktu yang panjang dibandingkan dengan permodelan numerik hidrodinamika. Modul morfologi pada Delft3D membagi perhitungan pada dasar permukaan (bed load) dan sedimen tersuspensi (suspended sediment), juga berdasarkan jenis sedimen menjadi kohesif dan non kohesif (Deltares 2017). Untuk studi ini, kondisi sedimen pada lokasi studi muara Sungai Barito didominasi oleh jenis sedimen kohesif. Modul hidrodinamika Delft3D-FLOW adalah berdasarkan formula Navier Stokes untuk fluida inkompresibel (Incomprensible fluid), untuk kondisi perairan dangkal (shallow water) dan menggunakan asumsi Boussinesq (Deltares 2017). Untuk perhitungan erosi dan sedimentasi untuk sedimen kohesif pada Delft3D menggunakan formula Partheniades-Krone (Partheniades 1965). Formula perhitungan erosi adalah sebagai berikut:


Sementara formula untuk sedimentasi/deposisi adalah sebagai berikut :


Dimana adalah flux erosi, parameter user-defined, S adalah erosion dan deposition step function, adalah flux deposition/sedimentasi, fall velocity konsentrasi sedimen rata-rata di dekat dasar permukaan (near bottom computational layer). Untuk kondisi sedimen non-kohesif pada Delft3D adalah berdasarkan metode (Van Rijn, Roelvink, and Horst 2000). Berikut adalah formula perhitungan erosi dan sedimentasi/deposisi :


Dimana adalah faktor koreksi konsentrasi sedimen, adalah koefisien difusi pada dasar kmx cell dari fraksi sediment , adalah referensi konsentrasi dari fraksi sedimen , adalah konsentrasi rata-rata fraksi sedimen pada sel kmx, adalah perbedaan ketinggian dari titik tengah sel kmx dan referensi ketinggian Van Rijn (gambar 7). Formula perhitungan sedimentasi/ deposisi adalah sebagai berikut:


Gambar 7. Metode pemilihan kmx layer dengan a adalah tinggi referensi Van Rijn (Deltares 2017)


Model Setup dan Input Data 
   Model domain yang dipergunakan meliputi bagian ujung dan muara sungai Barito kurang lebih sepanjang 10 km, sampai ke laut Jawa sekitar kisaran 60 km ke selatan. Data batimetri untuk input model domain menggunakan Peta Laut Dishidros Lembar Peta No. 289 yang didasarkan pada hasil pengukuran pada tahun 2010, yang kemudian diverifikasi dengan hasil survey

Gambar 8. Grid model dan input batimetri 

batimetri lapangan bulan Mei 2015. Resolusi grid model berkisar antara 200-600 meter, dengan pertimbangan tingkat akurasi, kestabilan numerik berdasarkan nilai Courant-Friedrich-Lewy (CFL) yang diizinkan harus kurang dari 1, dan waktu simulasi sekitar 2 hari untuk komputer dengan jumlah prosesor 16 core. Gambar 8 terdiri dari dua gambar, gambar pertama di sebelah kiri memperlihatkan model domain, tanpa batimetri dan grid, selanjutnya gambar kedua di sebelah kanan memperlihatkan kondisi model domain dengan batimetri dan grid dan data kedalaman dengan warna biru tua menandakan kedalaman laut mencapai -29.00 m, sedangkan warna hijau tua menandakan kedalaman yang paling dangkal dengan nilai -1.00 m. Jumlah grid horizontal adalah 75 grid dan jumlah grid vertikal sebanyak 78 grid dengan besar grid sekitar 200 m x 600 m. Kondisi batas (boundary condition) untuk laut jawa menggunakan input pasang surut dengan

format time-series yang didapatkan dari aplikasi Tide Model Driver (TMD)(Padman 2005) pada dua lokasi yaitu west boundary dan south boundary (gambar 9) dengan nilai pasang tertinggi (HAT) +3.28 meter, surut (LAT) +0.27 meter besar tunggang 3.01 meter. Sementara untuk input kondisi Sungai Barito, dimodelkan dalam input discharge. Data debit dan konsentrasi sedimen tersuspensi (suspended sediment) di muara Sungai Barito diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan Selatan. Selain data batimetri, pasang surut, debit air Sungai Barito, data primer hasil survey lapangan mengenai kondisi fisik air seperti temperatur, salinitas, berat jenis juga dijadikan input model untuk simulasi. Permodelan numerik disimulasikan merupakan peramalan (forecast) untuk menghitung tingkat sedimentasi yang terjadi pada kanal selama 1 tahun, dari tanggal 1 mei 2015 hingga 1 mei 2016. Dengan periode simulasi selama 1 tahun, 

Gambar 9. Input kondisi batas (boundary condition) dan Letak input debit sungai (kiri: stasiun pengamatan; SB-01, SB-02, SB-03 dan SB-04, kanan: garis profil pengamatan; SB-A dan SB-B) 

Tabel 1. Input parameter pada model setup

variasi musiman yang mencakup musim muson barat, muson timur dan peralihan, serta variasi musim kemarau-penghujan akan terakomodir. Hasil model hidrodinamika sebagai acuan awal untuk peramalan menunjukkan nilai lebih dari 95%, maka selanjutnya kondisi hidrodinamika tersebut dapat dilakukan untuk simulasi morfodinamika. Besaran nilai pada parameterparameter input pada model setup morfodinamika disajikan pada tabel 1. 

Skenario Simulasi Model
   Tiga skenario disimulasikan pada studi ini. Skenario 1 merupakan simulasi peramalan (forecast) 1 tahun kedepan untuk kondisi eksisting. Setelah skenario 1 disimulasikan, maka selanjutnya akan dibuat skenario selanjutnya yaitu skenario 2 dan skenario 3 yang melibatkan kegiatan pengerukan (dredging) dan penimbunan (dumping) material material hasil pengerukan sebagai solusi dari permasalahan sedimentasi pada Alur Pelayaran baru. Kondisi teknis pada skenario adalah sebagai berikut 
1. Skenario 1; simulasi 1 tahun forecast untuk kondisi eksisting untuk mengetahui tingkat pendangkalan akibat proses sedimentasi pada alur pelayaran. Untuk skenario 1 dilakukan simulasi tambahan dengan periode 3 tahun untuk mengetahui kondisi stabil perubahan morfologi. 
2. Skenario 2 (Gambar 10 kiri); simulasi 1 tahun forecast dengan pengerukan (dredging) hingga kedalaman -6.00 m (LWS) dari ambang terluar kanal/buoy no.1 sampai buoy no. 10. Kemudian material hasil pengerukan (dredging) dibuang pada satu titik lokasi offshore dengan kedalaman -29.00 m (LWS), dengan asumsi daerah tersebut cukup aman untuk buangan dan bukan merupakan daerah habitat terumbu karang. 
3. Skenario 3 (Gambar 10 kanan); simulasi 1 tahun forecast dengan pengerukan (dredging) hingga kedalaman -6.00 m (LWS) dari ambang terluar kanal/buoy no.1 sampai ke muara sungai Barito (buoy no 15). Kemudian material hasil pengerukan (dredging) dibuang

Gambar 10. Skenario Pengerukan dan Buangan (kiri: Skenario 2, kanan: skenario 3)

pada dua titik lokasi offshore dengan kedalaman -29.00 m (LWS), dengan asumsi yang sama dengan skenario 2, yaitu kedua daerah tersebut cukup aman untuk buangan dan bukan merupakan daerah habitat terumbu karang. Dengan simulasi ketiga skenario tersebut, diharapkan dapat memberikan gambaran proses sedimentasi pada alur masuk Sungai Barito dan menjadi bagian dari solusi atas permasalahan tersebut. 

HASIL SIMULASI DAN DISKUSI 
   Skenario 1 (Kondisi Eksisting) Pada skenario 1 (satu) atau skenario dengan kondisi eksisting tanpa pengerukan dan penimbunan dengan data batimetri yang digunakan adalah data batimetri kompilasi Peta Laut Dishidros dan hasil survey lapangan. Kondisi permukaan dasar laut pada tanggal 1 Mei 2015 (sebelum simulasi dimulai), dari ambang terluar alur masuk hingga ke muara sungai, kondisi batimetri bervariasi antara -4 m sampai -8 m. (Gambar 11). 
   Berdasarkan hasil simulasi model untuk periode 1 (satu) tahun, terjadi perubahan kedalaman dasar laut atau morfodinamika alur yang terjadi murni dari proses hidrodinamika yang ada. Pada gambar 11 dapat dilihat pada ruas antara stasiun SB-01 dan BS-02 sepanjang ± 4,00 Km telah mengalami perubahan kedalaman dibawah 1 meter, namun terjadi penyempitan Alur Pelayaran sebesar 300-400 meter. Untuk ruas selatan kanal dari ambang lepas pantai hingga stasiun SB-02 sepanjang ± 12,00 Km, tidak banyak terjadi perubahan kedalaman, dimana mayoritas masih tetap pada kisaran -5,00 m. Penyempitan Alur Pelayaran juga terjadi pada ruas ini sebesar 100-200 meter. 

Skenario 2 (Pengerukan di sebagian alur) 
   Pada skenario 2 (dua) disimulasikan pengerukan batimetri kondisi eksisting untuk ruas antara ambang lepas pantai dan stasiun SB-02 sepanjang ±10 Km hingga kedalaman -6,00 (Gambar 12). Berdasarkan hasil simulasi yang ditampilkan pada gambar 12, kondisi morfologi alur hasil pengerukan di ruas Alur Pelayaran antara ambang lepas pantai dan stasiun SB-04 tidak banyak mengalami perubahan dimana mayoritas kedalaman masih -6,00 m. Namun, pendangkalan akibat sedimentasi mulai terjadi dari ruas antara stasiun SB-03 hingga SB-02 dimana terjadi pendangkalan sebesar 1-2 meter. Untuk ruas antara stasiun SB-02 hingga SB01, yang memiliki rentang jarak sekitar ±2 Km, bagian terdalam pada Alur Pelayaran cukup stabil pada kisaran -6,00 m, namun terjadi penyempitan


Gambar 11. Kondisi dasar laut pada Skenario 1 (kiri atas: sebelum simulasi, kanan atas: setelah simulasi 4 bulan (muson timur), kiri bawah (muson barat) setelah sinulasi 8 bulan, kanan bawah 1 tahun)


Gambar 12. Kondisi dasar laut pada Skenario 2 (kiri: Sebelum simulasi, kanan: Setelah simulasi 1 tahun)


Gambar 13. Kondisi dasar laut pada Skenario 3 (kiri: Sebelum simulasi, kanan: Setelah simulasi 1 tahun)

Alur Pelayaran sebesar 300-400 meter seperti yang terjadi pada skenario 1. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa aktivitas timbunan/buangan (dumping) pada kedalaman -27,00 meter tidak memberikan dampak terhadap sedimentasi pada bagian ambang terluar alur pelayaran. Hal ini menunjukkan bahwa pendangkalan akibat proses sedimentasi yang terjadi didominasi dari suplai sedimen yang dibawa oleh debit Sungai Barito itu dan pergerakan sedimen pada daerah perairan dangkal (shoal) di muka muara sungai. Skenario 3 (Pengerukan di sepanjang alur) Pada skenario 3 (tiga) ini, diasumsikan pengerukan dilakukan diseluruh ruas Alur Pelayaran , yaitu mulai dari ambang lepas pantai hingga mulut Sungai Barito/stasiun SB-01(Gambar 13). Pengerukan dilakukan hingga kedalaman -6,00 meter. Berdasarkan hasil simulasi untuk skenario ke 3 (Gambar 9), dapat dilihat bahwa pada sebagian besar ruas antara ambang lepas pantai ke stasiun SB-04 kedalaman masih tetap ada kisaran -6,00 meter. Sementara untuk ruas antara stasiun SB-04 dan SB-01 terjadi pendangkalan sebanyak 1 meter dimana kedalaman menjadi sekitar -5,00 meter. Sama seperti skenario 2, bahwa aktivitas timbunan/buangan (dumping) pada 2 lokasi di kedalaman -27,00 meter tidak memberikan dampak terhadap sedimentasi pada bagian ambang terluar alur pelayaran. 

DISKUSI 
  Berdasarkan hasil simulasi pada ketiga skenario, pendangkalan maksimum yang terjadi dalam satu tahun adalah dalam kisaran ± 1 meter pada ruas antara SB-01 dan SB-03. Selain terjadi pendangkalan, juga terjadi penyempitan pada alur pelayaran. Hasil simulasi yang memperlihatkan bahwa perubahan morfologi terbesar terjadi pada bagian muara sungai Barito menunjukkan bahwa morfologi pantai pada lokasi studi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi suplai debit dan sedimen dari Sungai Barito. Gambar 14 memperlihatkan tingkat erosi/ sedimentasi kumulatif hasil dari simulasi model dengan periode 1 tahun pada empat stasiun observasi. Pada stasiun SB-01 dan SB-02 yang berlokasi berdekatan dengan muara sungai Barito, tingkat sedimentasi mencapai ± 1,2 meter. Sementara pada stasiun SB-03 yang berlokasi lebih ke arah selatan, tingkat sedimentasi pada ketiga stasiun tidak mencapai 1 meter. Pada stasiun SB-04, tingkat sedimentasi berkurang lagi menjadi lebih kecil dari 50 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun SB-04, pengaruh muara sungai sudah berkurang dan lebih didominasi oleh dinamika dari laut. Gambar 15 memperlihatkan perubahan morfologi kanal setelah 3 tahun simulasi model untuk skenario 1 pada profil SB-A (pada stasiun SB-03) dan SB-B (pada stasiun SB-04). Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada ruas antara SB03 dan SB-04 terjadi penyempitan kanal sebesar 300-400 meter setelah simulasi selama 1 tahun pada kedua profil. Jika hal tersebut dibiarkan maka


Gambar 14. Tingkat erosi-sedimentasi kumulatif pada simulasi 1 tahun pada stasiun observasi SB-01, SB-02, SB03 dan SB-04 (angka positif memberikan indikasi sedimentasi negatif memberikan indikasi erosi)

dalam 3 tahun penyempitan kanal akan terus berlangsung sampai sebesar 1 km. Hasil simulasi juga menunjukkan pada bagian tengah kanal terjadi pendangkalan pada tahun pertama, namun pada tahun kedua dan ketiga terjadi erosi sehingga bagian tengah kanal menjadi lebih dalam (gambar 15). Hal ini disebabkan oleh penyempitan kanal yang menyebabkan kecepatan arus menjadi terakumulasi pada bagian tengah sehinggal menjadi lebih cepat. 

KESIMPULAN 
  Permasalahan terbesar dalam sistem transportasi ini adalah pendangkalan akibat proses sedimentasi. Untuk kondisi eksisting, kedalaman mayoritas pada ruas antara buoy 10 ke arah selatan menuju lepas pantai adalah -4.00 m (LWS) dapat menyebabkan permasalahan bagi pergerakan kapal tongkang dengan draft di atas 4 m yang harus menunggu waktu air laut pasang. Untuk mengatasi pendangkalan akibat sedimentasi, dapat dilakukan pengerukan secara berkala (maintainance dredging). Material hasil pengerukan dapat ditimbun pada lokasi lepas pantai sebelah selatan alur pelayaran . Berdasarkan hasil simulasi untuk semua skenario untuk periode 1 tahun, maka dapat diindikasikan bahwa proses pendangkalan maksimum akibat proses sedimentasi dan penyempitan alur pelayaran bergeser dari yang sebelumnya terjadi pada ruas antara ambang lepas pantai dengan stasiun SB-03 menjadi pada ruas antara stasiun SB-02 dengan SB-01 di muka muara sungai. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika kondisi tersebut berlangsung, maka diperlukan pengerukan berkala per tahun pada area sekitar muara sungai Barito. 

UCAPAN TERIMA KASIH 
  Ucapan terimakasih ditujukan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) dan rekan-rekan peneliti terkait yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan dan masukannya. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan Selatan yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan lapangan ini.

DAFTAR ACUAN 
Bassoullet, P, R Djuwansah, D Gouleau, and C Marius. 1986. Hydrosedimentological Processes and Soils of the Barito Estuary (South Kalimantan, Indonesia). Oceanologica Acta 9 (3): p217-226. 

Bunn, Stuart E., Martin C. Thoms, Stephen K. Hamilton, and Samantha J. Capon. 2006. Flow Variability in Dryland Rivers: Boom, Bust and the Bits in between. River Research and Applications 22 (2): 179–86. doi:10.1002/rra.904. 

Dalrymple, Robert W., and Kyungsik Choi. 2007. Morphologic and Facies Trends through the Fluvial-Marine Transition in TideDominated Depositional Systems: A Schematic Framework for Environmental and Sequence-Stratigraphic Interpretation. EarthScience Reviews 81 (3–4): 135–74. doi:10.1016/j.earscirev.2006.10.002.

Deltares. 2017. Delft3D-Flow Simulation of MultuDimensional Hydrodynamic Flows and Transport Phenomena, Including Sediments: User-Manual Hydro-Morphodynamics. Deltares.

ESDM, Balitbang. 2015. Kajian Sistem Transportasi Dan Stockpile Di Sungai-Pantai Kalimantan Bagian Selatan (Rekomendasi Kebijakan).

Fengye, Li. 1993. Modern Sedimentation Rates and Sedimentation Feature in the Huanghe River Estuary Based on210Pb Technique. Chinese Journal of Oceanology and Limnology 11 (4): 333–42. doi:10.1007/BF02850638. 

George, Douglas A., Guy Gelfenbaum, and Andrew W. Stevens. 2012. Modeling the Hydrodynamic and Morphologic Response of an Estuary Restoration. Estuaries and Coasts 35 (6): 1510–29. doi:10.1007/s12237- 012-9541-8.

Kimiaghalam, Navid, Masoud Goharrokhi, and Shawn P. Clark. 2016. Estimating Cohesive Sediment Erosion and Deposition Rates in Wide Rivers. Canadian Journal of Civil Engineering 43(2): 164–72. 

KNKT, Komite Nasional Keselamatan Transportasi. 2014. Laporan Akhir Investigasi Kecelakaan Pelayaran. 

Ledden, Mathijs van. 2003. Sand-Mud Segregation in Estuaries and Tidal Basins. 

Leeuwen, S. M. Van, M. Van Der Vegt, and H. E. De Swart. 2003. Morphodynamics of EbbTidal Deltas: A Model Approach. Estuarine, Coastal and Shelf Science 57 (5–6): 899–907. doi:10.1016/S0272-7714(02)00420-1.

Maren, Dirk S. van, Johan C. Winterwerp, and Julia Vroom. 2015. Fine Sediment Transport into the Hyper-Turbid Lower Ems River: The Role of Channel Deepening and Sediment-Induced Drag Reduction. Ocean Dynamics 65 (4): 589–605. doi:10.1007/s10236-015-0821-2. 

Miller, Richard L, Ramón López, Ryan P Mulligan, Robert E Reed, Cheng-Chien Liu, Christopher J Buonassissi, and Matthew M Brown. 2014. Examining Material Transport in Dynamic Coastal Environments: An Integrated Approach Using Field Data, Remote Sensing and Numerical Modeling BT - Remote Sensing and Modeling: Advances in Coastal and Marine Resources. In , edited by Charles W Finkl and Christopher Makowski, 333–64. Cham: Springer International Publishing. doi:10.1007/978-3-319-06326- 3_14.

Moodley, Kavandren, Srinivasan Pillay, Keshia Pather, and Hari Ballabh. 2016. Seasonal Discharge and Chemical Flux Variations of Rivers Flowing into the Bayhead Canal of Durban Harbour, South Africa. Acta Geochimica 35 (4). Science Press: 340–53. doi:10.1007/s11631-016-0100-z. 

Niazi, Faegheh, Hamed Mofid, and Nasim Fazel Modares. 2014. Trend Analysis of Temporal Changes of Discharge and Water Quality Parameters of Ajichay River in Four Recent Decades. Water Quality, Exposure and Health 6 (1–2): 89–95. doi:10.1007/s12403- 013-0108-0. 

Padman, Laurie. 2005. Tide Model Driver ( TMD ) Manual. Arctic, 1–12.

Partheniades, Emmanuel. 1965. Erosion and Deposition of Cohesive Soils. Journal of the Hydraulics Division ASCE 91 (H: 105–139. 

Ralston, David K., and W. Rockwell Geyer. 2009. Episodic and Long-Term Sediment Transport Capacity in The Hudson River Estuary. Estuaries and Coasts 32 (6): 1130–51. doi:10.1007/s12237-009-9206-4. 

Rijn, L. C. van. 2005. Estuarine and Coastal Sedimentation Problems. International Journal of Sediment Research 20 (1): 39–51. 

Rijn, L. C. Van, J.A. Roelvink, and W. Ter Horst. 2000. Approximation Formulae for Sand Transport by Currents and Waves and Implementation in DELFT-MOR. Delft Hydraulics. Delft, The Netherlands: Delft Hydraulics.

Sumawinata, Basuki. 1998. Sediments of the Lower Barito Basin in South Kalimantan: Fossil Pollen Composition. Southeast Asian Studies 36 (3): 293–316. 

Talke, Stefan A., and Mark T. Stacey. 2008. Suspended Sediment Fluxes at an Intertidal Flat: The Shifting Influence of Wave, Wind, Tidal, and Freshwater Forcing. Continental Shelf Research 28 (6): 710–25. doi:10.1016/ j.csr.2007.12.003. 

Wang, Yu Hai, Chong Hao Wang, Li Qun Tang, Da Bin Liu, Chuan Sheng Guo, Chun Jing Liu, and Hui Ming Zhao. 2014. Long-Term Morphological Response to Dredging Including Cut-across-Shoal in a Tidal Channel-Shoal System. Ocean Dynamics 64 (12): 1831–43. doi:10.1007/s10236-014- 0786-6.

Xie, Li, Zhenke Zhang, Yunfeng Zhang, Yaping Wang, and Xianjin Huang. 2013. Sedimentation and Morphological Changes at Yuantuojiao Point, Estuary of the North Branch, Changjiang River. Acta Oceanologica Sinica 32 (2): 24–34. doi:10.1007/s13131-013-0274-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar